Senin, 01 April 2013

Client Centered Therapy

                                         TERAPI CLIENT – CENTERED

Sesuai dengan namanya yaitu dari nama ‘Client centered’ yang berarti berfokus pada klien. Teknik ini pada awanya dipakai oleh Carl Rogers pada tahun 1942. Teknik ini dipakai secara terbatas pada terapi mahasiswa dan orang orang dewasa muda lain yang mengalami masalah masalah penyesuaian diri yang sederhana. Carl rogers berpendapat bahwa orang orang yang memiliki kecenderungan dasar yang mendorong mereka ke arah pertumbuhan dan pemenuhan diri. Dalam pandangan Rogers, gangguan-gangguan psikologis pada umumnya terjadi karena orang-orang lain menghambat individu dalam perjalanan menuju kepada aktualisasi diri. Orang yang dapat menyesuaikan diri dengan baik adalah orang yang memilih dan bertindak sesuai dengan nilai nilai kebutuhan pribadinya.
Pendekatan humanistik Rogers terhadap terapi person centered theraphy membantu pasien untuk lebih menyadari dan menerima dirinya yang sejati dengan menciptakan kondisi kondisi penerimaan dan penghargaan dalam hubungan terapeutik. Terapis tidak boleh memaksakan tujuan atau nilai yang dimilikinya kepada pasien. Fokus dari terapi adalah pasien. Terapi adalah nondirektif, yakni pasien dan bukan terapis memimpin atau mengarahkan jalannya terapi. Terapis memantulkan perasaan perasaan yang diungkapkan pasien untuk membantunya berhubungan dengan perasaan perasaanya yang lebih dalam dan bagian bagian dari dirinya yang tidak diakui karena tidak diterima oleh masyarakat. Terapis memantulkan kembali atau menguraikan dengan kata kata apa yang diungkapkan pasien tanpa memberi penilaian.
Terapi berfungsi sebagai penunjang dalam menemukan pribadi kliennya dengan jalan membantu kliennya itu dalam menemukan kesanggupan-kesangupan untuk mencegah masalah-masalah.


Metode terapi person-centered
Rogers mengemukakan 6 syarat dalam proses terapi yang harus dipenuhi oleh terapis. Rogers menyatakan bahwa pasien akan mengadakan respon jika:
1.     Terapis menghargai tanggung  jawab pasien terhadap tingkah lakunya sendiri.
2.    Terapis mengakui bahwa pasien dalam dirinya sendiri memiliki dorongan yang kuat untuk menggerakkan dirinya ke arah kematangan (kedewasaan) serta independensi, dan terapis menggunakan kekuatan ini dan bukan usaha-usahanya sendiri.
3.    Menciptakan suasana yang hangat dan memberikan kebebasan yang penuh dimana pasien dapat mengungkapkan apa saja yang diinginkannya .
4.    Membatasi tingkah laku tetapi bukan sikap.
5.    Terapis membatasi kegiatannya untuk menunjukan pemahaman dan penerimaannya terhadap emosi-emosi yang sedang diungkapkan pasien yang mungkin dilakukannya  dengan memantulkan kembali dan menjelaskan prasaan-perasaan pasien.
6.    Terapis tidak bpleh bertanya menyelidiki, menyalahkan, memberikan penaksiran, menasihatkan,mengajarkan,membujuk,dan meyakinkan kembali.
Contoh masalah yang bisa di gunakan oleh terapi ini :
Ada individu yang mungkin mempersepsikan dirinya sebagi orang yang ramah, menarik dan suka bergaul, tetapi ketika bersama orang lain ia merasa terabaikan kemudian orang tersebut menjadi tegang, bingung, dan cemas. Lalu ia datang ke terapis, menceritakan semua yang dirasakannya, terapis hanya mendengarkan dan mengarahkan lalu ia sendiri yang menemukan jalan keluarnya.

·         Kelebihan :
1.      pendekatan ini menekankan bahwa konseli dapat menentukan keberhasilan atau kegagalan proses konseling.
2.    Konseli diberi kebebasan untuk merubah dirinya sendiri.
3.    Pentingnya hubungan antar pribadi dalam proses konseling.
4.    Pentingnya konsep diri.
5.    Konselor berperan untuk mengarahkan dan menunjukkan sikap penuh pemahaman dan penerimaan

·         Kelemahan :
1.     Terkadang konseli seolah-olah merasa tidak diarahkan dan merasa tidak adanya tujuan yang jelas dari proses konseling, apalagi jika tidak adanya pengarahan dan saran dari konselor.
2.    Pendekatan ini dianggap terlalu terikat pada lingkungan kebudayaan Amerika Serikat, yang sangat menghargai kemandirian seseorang dan pengembangan potensi dan kehidupan masyarakat.
3.    Clien centered counselling yang beraliran ortodoks akan sulit diterapkan terhadap siswa dan mahasiswi dan jarang di laksanakan dalam institusi pendidikan indonesia.


Sumber
Semiun, yustinus. 2006. Kesehatan mental 3. Yogyakarta: kanisius
<

Tidak ada komentar:

Posting Komentar